Banyak dari Loe pasti masih asing dengan istilah ini. Generasi Bumerang. Istilah ini memang booming di Amerika pada 1982 dan 2001 dan di Inggris pada 2014. Indonesia? Belum begitu. Meski tak seheboh di Amerika, senyatanya fenomena generasi bumerang ini ada juga di Indonesia. Atau karena ketidaktahuan, Loe jangan-jangan justru sudah masuk di dalamnya. Ikut prihatin, deh!
Loe tahu bumerang? Bumerang itu senjata lempar khas suku Aborigin dari Australia yang digunakan untuk berburu. Alat berburu ini didesain sedemikian rupa sehingga begitu dilempar bisa kembali lagi ke si pelempar.
Dalam perjalanan waktu istilah bumerang masuk ranah sosial dan ekonomi. Entah siapa yang menggunakannya untuk pertama kalinya (perlu eksplorasi khusus). Istilah bumerang disandingkan dengan kata “generasi” untuk menggambarkan anak-anak yang terpaksa kembali ke rumah karena faktor menganggur.
Ibarat bumerang, anak-anak yang sudah dilepas ini kembali ke orang tuanya. Mereka ini kembali tentu bukan karena kemauan mereka, tetapi karena keadaan yang memaksa mereka memilih jalan pulang.
Generasi bumerang ini terpaksa menjadi pengangguran karena lapangan pekerjaan sedikit. Sebagai catatan, pada saat itu Amerika sedang resesi. Bukannya malas mencari pekerjaan dan apartemen (kos) sendiri, generasi yang biasanya remaja ini memang tak menemukan pekerjaan. Susah dapat pekerjaan, cing!
Pew Research Center menemukan mayoritas generasi bumerang ini sebenarnya tidak ingin tinggal bersama orang tua mereka. Namun situasi memaksanya untuk tinggal bersama orangtuanya lagi.
Di Indonesia sendiri fenomena generasi bumerang sebenarnya ada, meski belum ada penelitian khusus. Tragisnya, hingga menikah dan memiliki anak pun mereka terpaksa tinggal bersama orangtua atau pondok mertua indah.
Ironisnya, mereka ini muda dan terdidik, tetapi sayangnya mereka tak punya pendapatan dan kehilangan pengalaman kerja nyata. Tanpa dua hal ini pada usia produktif, mereka pun disebut generasi yang hilang. Mereka kehilangan kesempatan. Jalan tengahnya, ya mau apa lagi: kembali hidup bersama orangtua.
Kehadiran generasi bumerang ini jelas menjadi persoalan serius karena orang tua (ayah dan ibu) lantas menjadi generasi terjepit yang harus mengurus anak dan kakek-nenek. Memang, situasi semacam ini kalau tidak ditangani secara bijaksana, akan menyebabkan keuangan keluarga babak-belur. Keberadaan generasi bumerang membebani keuangan keluarga.
Merancang keuangan keluarga secara cerdas menjadi urgent. Orangtua perlu memiliki perencanaan (budgeting) untuk pos-pos pengeluaran prioritas kebutuhan rutin bulanan beserta alokasinya dan menjalankan rencana tersebut dengan disiplin. Kalau tergolong menjadi pribadi yang tidak disiplin, platform modern seperti IPOTPAY bisa menjadi solusi.
Plaform ini hadir dengan fitur-fitur unggulannya mulai dari pembayaran, pembelian hingga transfer uang,. Dengan fitur smart calendar, lengkap dengan schedule payment, platform ini mampu mengatur jadwal pembayaran, pembelian, dan transfer dana secara berkala.
Orangtua perlu memiliki perencanaan (budgeting) untuk pos-pos pengeluaran prioritas kebutuhan rutin bulanan beserta alokasinya.
Budgeting secara cerdas akam meminimalisir karut-marut hidup keluarga. Apalagi, tantangan ke depan tidak lah mudah. Awas, bonus demografi 2020-2030 bisa menjadi lahan subur untuk tumbuhnya generasi bumerang. Seperti kita tahu, di era bonus demografi mendatang jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) akan mencapai sekitar 70 persen, sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun). Tentunya mengkhawatirkan dan mencemaskan jika generasi bumerangnya nanti akan banyak.
Hubungi 021 5088 7200 atau email ke support@indopremier.com